Pemerintah mengatakan, kenaikan harga tiket pesawat disebabkan kenaikan tarif avtur. Perhitungan simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa harga avtur tidak memberikan dampak terbesar terhadap kenaikan biaya operasional maskapai.
Pengamat penerbangan dan analis independen di Bisnis Penerbangan Nasional Gatot Rahardjo sedang menghitung dampak kenaikan harga avtur terhadap operasional pesawat. Diakui juga, harga avtur sempat naik lebih tinggi dari harga tahun 2019.
Harga rata-rata Avtur per barel menurut International Airline Association (IATA) pada 2019 adalah US$79 dan saat ini sekitar US$138 pada 2022, artinya ada kenaikan sekitar US$60 atau 88 persen,” katanya dalam keterangannya, Minggu. (12 Juni 2022).
Berdasarkan harga tersebut, ia mencoba mensimulasikan perhitungan tarif dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019. Dalam peraturan ini, perhitungan tarif akan diambil alih dari perhitungan biaya operasional pesawat.
“Untuk pesawat jet, hasil perhitungan total biaya operasional ditambah 5 persen keuntungan maskapai adalah base fare, asalkan perhitungannya mengasumsikan tingkat okupansi 65 persen penumpang pesawat, penumpang paling sedikit.
Tarif dasar kemudian dikalikan dengan jarak perjalanan untuk sampai pada tarif batas (TBA). Oleh karena itu, TBA Jakarta-Surabaya berbeda dengan Jakarta-Medan karena jaraknya juga berbeda.
Jadi, kata dia, jika jet maskapai dipenuhi 65 persen penumpang (load factor/LF) dan maskapai menerapkan TBA, maskapai tetap mendapat untung 5 persen. Padahal, seiring dengan penerapan TBA, rata-rata utilisasi pesawat saat ini sudah mendekati 100 persen, atau bisa dibilang sekitar 90 persen.
Ini mensimulasikan perhitungan biaya dan pendapatan maskapai. Sesuai perkiraan pada Permenhub 20/2019, perhitungan opini maskapai adalah okupansi dikalikan tarif batas atas (LF x TBA). Mengambil tersedia untuk nomor sebelumnya, ini berarti 65 (LF) x 100 (TBA) = 6.500.
Jika harga avtur naik 90 persen, maka biaya avtur naik dari semula 35 (dari total biaya operasional) sebesar 35 x 90 persen = 31,5. Jadi total biayanya menjadi 65 x (100+31,5) = 8.547,5,” jelasnya.
Penghasilan saat ini adalah 90 (LF) x 100 (TBA) = 9.000. Jadi masih ada untung sekitar 450 atau sekitar 7 persen dari tarif dasar. Ditambah keuntungan dari perhitungan tarif dasar 5 persen, keuntungan maskapai saat ini sekitar 12 persen,” tambah Gatot.
Masih perhitungan kasar
Billy Concretete bahwa angka yang dia gunakan masih perhitungan kasar. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran tentang pengaruh harga minyak tanah saat ini terhadap penerbangan.
Kenyataannya, kata dia, hanya maskapai full service yang boleh menerapkan TBA 100 persen. Sedang maskapai hanya 90 persen dan LCC 85 persen. Namun, ia memperkirakan total biaya maskapai menengah dan LCC juga lebih rendah dari layanan penuh.
Oleh karena itu, pernyataan Departemen Perhubungan bahwa kenaikan BBM merupakan faktor terbesar penyebab kenaikan harga tiket tidak sepenuhnya benar. 2019,” ujarnya.
Apakah ini salah maskapai? Tidak! Maskapai ini menjual tiket sesuai tarif yang ditetapkan pemerintah. Alasan logisnya, maskapai saat ini sedang berusaha memulihkan pendapatan dan arus kasnya setelah keuangannya terdampak parah akibat pandemi COVID-19,” kata Gatot.